Kaligrafi
Secara bahasa
"kaligrafi" merupakan penyederhanaan dari calligraphy (kosakata dari bahasa Inggris). Kata ini diadopsi
dari bahasa Yunani yang diambil dari kata kallos yang berarti beauty (indah) dan graphein yang artinya to write (menulis) berarti
tulisan atau aksara, yang berarti "tulisan yang indah atau seni tulisan
indah. Dalam bahasa Arab kaligrafi disebut khat yang berarti garis.
Secara istilah dapat diungkapkan, "calligraphy is hanwriting as an art, to some calligraphy
will mean formal penmanship, distinguish from writing only by its exellents
guality" (kaligrafi adalah tulisan tangan sebagai karya seni,
dalam beberapa hal yang dimaksud kaligrafi adalah tulisan formal yang indah,
perbedaannya dengan tulisan biasa adalah kualitas keindahannya). Ada juga
ungkapan lain, seperti Hakim al-Rum
mengatakan : Kaligrafi adalah geometri spiritual dan diekspresikan dengan
perangkat fisik. Sementara Hakim al-Arab
menuturkan kaligrafi adalah pokok dalam jiwa dan diekspresikan dengan indra
indrawi. Batasan-batasan tersebut seiring pula dengan yang diungkapkan oleh Yaqut al-Musta'shimi bahwa kaligrafi adalah
geometri rohaniah yang dilahirkan dengan alat-alat jasmaniah. Sementara Ubaidillah bin Abbas mengistilahkan kaligrafi
dengan lisan al-yadd atau lidahnya tangan
serta masih banyak lagi terminologi kaligrafi yang senada dengan yang telah
disebutkan. Namun terminologi kaligrafi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Syaikh Syamsuddin al-Akfani sebagai berikut:
kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal,
letak-letaknya dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun
atau apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan
menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah
dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.
I.
Sejarah Perkembangan Kaligrafi di Dunia Islam
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat
ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada
masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan
beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas
tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan
Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku dan pelbagai negeri lain sudah
terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami
mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden
(berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga
tradisi lisan (komunikasi dari mulut ke mulut) lebih mereka sukai, bahkan
beberapa diantara mereka tampak anati huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya
pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemanjangan al-Mu'alaqot (syair-syair masterpiece
yang ditempel di dinding Ka'bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi
dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab
Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari
inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari
huruf Nabati, yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf
mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar, tulisan
tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arah.
A. Perkembangan Kaligrafi
Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan
berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter
tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal
di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar
(bundar), mutsallats (segitiga) dan Ti'im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar).
Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya mabsut berciri kaku dan terdiri dari goresan-goresan
tebal (rectilinear). Dua gaya ini pun
menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi yang diantaranya Mail (miring), Masyq
(membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh
terus berkembang, sedangkan Mail
lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi
pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya,
baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba' (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam), Mutarabith
Mu'aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan
mengalahkan gaya Kufi , baik dalam hal
keragaman gaya baru maupun penggunaannya. Dalam hal ini penyalinan al-Qur'an,
kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang paling termashyur mengembangkan
tulisan kursif adalah Qutbah
al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf dan Tsuluts.
Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga
menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan
pena besar pada tumar-tumar (lembaran
penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan
untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen
resmi istana. Sedangkan tulisan Jalil
yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu
banyak terungkap oleh karena khalifah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar
peninggalan-peninggalan demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh
tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu'awiyah,
tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang
dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
B. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
B. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin
berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir,
diantaranya Ad-Dahhak ibn 'Ajlan
yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah
(750-754 M) dan Ishaq ibn Muhammad
pada masa Khalifah al-Manshur (754-775) dan al-Mahdi (775-786). Ishaq
memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain
dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada
Ishaq. Yusuf berhasil
menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar
adalah Ibnu Muqlah yang pada
masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal
al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan
tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus
geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam
pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik, huruf
alif, dan lingkaran. Menurutnya
setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia
juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi,
Muhaqqaq, Raihani, Riqa' dan Tauqi' yang merupakan tulisan kursif.
Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah
yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh
murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad ibn
as-Simsimani dan Muhammad ibn Asad.
Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus
yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia
mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara
radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu
sebuah al-Qur'an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta'simi yang memperkenalkan metode
baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam
gaya pokok yang masyhur tersebut. Yaqut adalah kaligrafer besar dimasa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada
tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang
sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Ummayah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat
ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang
tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen
dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Ummayah yang hanya mendominasi
unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengarih kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
C. Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang disebelah timur Libya
termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab
sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini
memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang
dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda
dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah
juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat
konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah
kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol sibawah Jengis Khan dan
puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali
tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan
cucu Hulagu Khan yang telah memeluk
agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia
memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni
kaligrafi dan hiasan al-Qur'an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki
beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut
seperti Ahmad al-Suhrawardi yang
menyalin al-Qur'an dalam gaya Muhaqqaq
tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar,
Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai abad
ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah
yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun
setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian istimewa.
Ia mempunya perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan
al-Qur-an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah
Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra'I yang menyalin al-Qur'an
bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang
bernama Ibrahim Sulthan
menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran
menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan
di Persia dan Irak sampai tahun 1736. Pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan
gaya kaligrafi baru yang disebut Ta'liq
yang sekarang dikenal Khat Farisi.
Gaya baru yang dikembangkan Ta'liq adalah Nasta'liq
yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta'liq akhirnya menggeser Naskhi
dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di kawasan India dan Afganistan berkembang
kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang
bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikal yang
ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi,
dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan
yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di
keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab
diperintaholeh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman)
di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan
terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan
kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa.
Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman saja,
tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka
tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia,
maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang
dipandang sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa
murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan
sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi
yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani dan Diwani Jali.
Syikastah (bentuk patah)
adalah gaya yang dikembangkan dari Ta'liq dan Nasta'liq awal. Gaya ini biasanya
dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah
penggayaan dari Ta'liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh
Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh
Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang
dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan
melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga
dikenal sebagai Humayuni (kerajaan).
Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman
dan para muridnya.
II. Sejarah Perkembangan Kaligrafi di Indonesia
II. Sejarah Perkembangan Kaligrafi di Indonesia
Di Indonesia, kaligrafi merupakan bentuk seni
budaya Islam yang pertama kali ditemukan, bahkan ia menandai masuknya Islam di
Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan hasil
penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya kufi
telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam
Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/ 1082 M) dan beberapa makam lainnya
dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui pula sejak kedatangannya ke Asia Tenggara
dan Nusantara, disamping dipakai untuk penulisan batu nisan [ada makam-makam,
huruf arab tersebut (baca: kaligrafi) memang juga banyak dipakai untuk
tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi, undang-undang, naskah
perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam mata uang logam, stempel, kepala
surat dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai dalam bahasa setempat tersebut
diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab
Jawa atau Arab Pegon.
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi
kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti
kayu, kertas, logam, kaca dan media lainnya. Termasuk juga untuk penulisan
mushaf-mushaf al-Qur'an tua dengan bahan kertas deluang
dan kertas murni yang diimpor. Kebiasaan menulis al-Qur'an telah banyak
dirintis oleh para ulama besar di pesantren-pesantren smenjak abad ke-16,
meskipun tidak semua ulama dan santri yang piawai menulis kaligrafi dengan
indah dan benar. Amat sulit mencari seorang khattat
yang ditokohkan di penghujung abad ke-19 atau awal abad ke-20, karena tidak ada
guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku pelajaran yang memuat
kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran tentang kaligrafi pertama kali baru
keluar sekitar 1961 karangan Muhammad Abdur
Muhili berjudul "Tulisan
Indah" serta karangan Drs.
Abdul Karim Husein berjudul "Khat,
Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab"
tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan
sosoknya lebih nyata dalam kitab-kitab atau buku-buku agama hasil goresan
tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim bakary, H.M.
Salim Fachry dan K.H. Rofi'i Karim.
Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda dapat
disebutkan antara lain Muhammad Sadzali
(murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari
Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz
Abdur Razaq dan Muhammad Wasi'
Abdur Razaq, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis
buku-buku kaligrafi dan mengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi
tidak hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga
mulai dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual
art. Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian
bagi para seniman lukis yang ragu untuk menggambar mahluk hidup. Dalam aspek
kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan
ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara
terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai
muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada
pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya
MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa
Islam se-Dunia tahun 1980 di Balai Sidang Jakarta dan pameran MTQ Nasional XII
di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran
Kaligrafi islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Yahun Baru
Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelopori kaligrafi lukis
adalah Prof. Ahmad Sadali
(Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous
(Bandung asal Aceh), Drs. H. Amri Yahya
(Yogyakarta, asal Palembang) dan H. Amang Rahman
(Surabaya) dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali,
Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan
bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkan dari kaedah-kaedah
aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang
berlainan dari pola yang telah dibakukan. Kehadiran seni lujkis kaligrafi tidak
urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu seringkali
keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapin hasil dari reaksi
tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat selama ini,
kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media dan terlalu lama
terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan mencolok para khattat,
setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka adalah kelemahan tentang
melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia
adalah dimasukkan seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even
MTQ. Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di
Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983. Sayembara tersebut pada
akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya adalah mengirimkan hasil
karya khat langsung kepada panitia MTQ, sedangkan penulisannya di tempat
masing-masing peserta. MTQ Nasional XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan
MTQ tahun selanjutnya kaligrafi dilombakan di MTQ.
III. Gaya Penulisan Kaligrafi
Ada sembilan gaya penulisan kaligrafi yang populer yang
dikenal oleh para pecinta seni kaligrafi :
1. Kufi
Gaya penulisan kaligrafi ini banyak digunakan untuk
penyalinan Alquran periode awal. Karena itu, gaya Kufi ini adalah model
penulisan paling tua di antara semua gaya kaligrafi. Gaya ini pertama kali
berkembang di Kota Kufah, Irak, yang merupakan salah satu kota terpenting dalam
sejarah peradaban Islam sejak abad ke-7 M. Gaya penulisan kaligrafi yang
diperkenalkan oleh Bapak Kaligrafi Arab, Ibnu Muqlah, memiliki karakter
huruf yang sangat kaku, patah-patah, dan sangat formal. Gaya ini kemudian
berkembang menjadi lebih ornamental dan sering dipadu
dengan ornamen floral.
Seperti halnya gaya Kufi, kaligrafi gaya
Tsuluts diperkenalkan oleh Ibnu Muqlah yang merupakan seorang menteri
(wazii) di masa Kekhalifahan Abbasiyah. Tulisan kaligrafi
gaya Tsuluts sangat ornamental, dengan banyak hiasan tambahan dan mudah
dibentuk dalam komposisi tertentu untuk memenuhi ruang tulisan yang tersedia.
Karya kaligrafi yang menggunakan gaya Tsuluts bisa ditulis dalam bentuk kurva,
dengan kepala meruncing dan terkadang ditulis dengan gaya sambung dan
interseksi yang kuat. Karena keindahan dan keluwesannya ini, gaya Tsuluts
banyak digunakan sebagai ornamen arsitektur masjid, sampul buku, dan
dekorasi interior.
Kaligrafi gaya Naskhi paling sering dipakai umat Islam, baik
untuk menulis naskah keagamaan maupun tulisan sehari-hari. Gaya Naskhi termasuk
gaya penulisan kaligrafi tertua. Sejak kaidah penulisannya dirumuskan secara
sistematis oleh Ibnu Muqlah pada abad ke-10, gaya kaligrafi ini sangat populer
digunakan untuk menulis mushaf Alqur’an sampai sekarang. Karakter hurufnya sederhana, nyaris tanpa
hiasan tambahan, sehingga mudah
ditulis dan dibaca.
ditulis dan dibaca.
Kaligrafi gaya Riq'ah merupakan hasil pengembangan
kaligrafi gaya Naskhi dan Tsuluts. Sebagaimana halnya dengan tulisan gaya
Naskhi yang dipakai dalam tulisan sehari-hari. Riq'ah dikembangkan
oleh kaligrafer Daulah Usmaniyah, lazim pula digunakan untuk tulisan
tangan biasa atau untuk kepentingan praktis lainnya. Karakter hurufnya sangat
sederhana, tanpa harakat, sehingga memungkinkan untuk ditulis cepat.
Tulisan kaligrafi gaya Ijazah (Raihani) merupakan
perpaduan antara gaya Tsuluts dan Naskhi, yang dikembangkan oleh
para kaligrafer Daulah Usmani. Gaya ini lazim digunakan untuk penulisan
ijazah dari seorang guru kaligrafi kepada muridnya. Karakter hurufnya seperti
Tsuluts, tetapi lebih sederhana, sedikit hiasan tambahan, dan tidak lazim
ditulis secara bertumpuk (murakkab).
Gaya kaligrafi Diwani dikembangkan oleh kaligrafer
Ibrahim Munif. Kemudian, disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah dan
kaligrafer Daulah Usmani di Turki akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16.
Gaya ini digunakan untuk menulis kepala surat resmi kerajaan. Karakter gaya ini
bulat dan tidak berharakat. Keindahan tulisannya bergantung pada permainan
garisnya yang kadang-kadang pada
huruf tertentu meninggi atau menurun, jauh melebihi patokan garis
horizontalnya. Model kaligrafi Diwani banyak digunakan untuk ornamen
arsitektur dan sampul buku.
7. Diwani Jali
Kaligrafi gaya Diwani Jali merupakan pengembangan gaya Diwani.
Gaya penulisan kaligrafi ini diperkenalkan oleh Hafiz Usman, seorang
kaligrafer terkemuka Daulah Usmani di Turki. Anatomi huruf Diwani Jali pada
dasarnya mirip Diwani, namun jauh lebih ornamental, padat, dan terkadang
bertumpuk-tumpuk. Berbeda dengan Diwani yang tidak berharakat, Diwani
Jali sebaliknya sangat melimpah. Harakat yang melimpah ini lebih
ditujukan untuk keperluan dekoratif dan tidak seluruhnya berfungsi sebagai
tanda baca. Karenanya, gaya ini sulit dibaca secara selintas. Biasanya, model
ini digunakan untuk aplikasi yang tidak fungsional, seperti dekorasi
interior masjid atau benda hias.
8. Farisi
Seperti tampak dari namanya, kaligrafi gaya Farisi
dikembangkan oleh orang Persia dan menjadi huruf resmi bangsa ini
sejak masa Dinasti Safawi sampai sekarang. Kaligrafi Farisi sangat
mengutamakan unsur garis, ditulis tanpa harakat, dan kepiawaian penulisnya
ditentukan oleh kelincahannya mempermainkan tebal-tipis huruf dalam 'takaran'
yang tepat. Gaya ini banyak digunakan sebagai dekorasi eksterior masjid di
Iran, yang biasanya dipadu dengan warna-warni arabes.
Walaupun belum cukup terkenal, gaya kaligrafi
Moalla merupakan gaya yang tidak standar, dan tidak masuk dalam buku
panduan kaligrafi yang umum beredar. Meski tidak begitu terkenal,
kaligrafi ini masih masuk dalam daftar jenis-jenis kaligrafi dalam
wikipedia Arab, tergolong bagian kaligrafi jenis yang berkembang di Iran.
Kaligrafi ini diperkenalkan oleh Hamid Ajami, seorang kaligrafer
kelahiran Teheran.
IV. Bentuk Kaligrafi
Menurut Ibnu Muqlah, dikutip dari buku ‘Seni Kaligrafi Islam’
karangan Drs. H.D. Sirojuddin AR M.Ag, bahwa bentuk kaligrafi al-Quran barulah
dianggap benar jika memenuhi lima kriteria sebagai berikut:
1. Tawfiyah
(tepat), yaitu huruf harus mendapatkan usapan goresan sesuai dengan bagiannya
secara utuh, baik lengkungan, kejuran, dan bengkokan.2. Itmam (tuntas), yaitu setiap huruf harus diberikan ukuran yang utuh, baik panjang, pendek, tebal dan tipis.
3. Ikmal (sempurna), yaitu setiap usapan goresan harus sesuai dengan kecantikan bentuk yang wajar, baik gaya tegak, terlentang, memutar dan melengkung.
4. Isyba’ (padat), yaitu setiap usapan goresan harus mendapat sentuhan pas dari mata pena (nib pen) sehingga terbentuk keserasian. Dengan demikian tidak akan terjadi ketimpangan, satu bagian tampak terlalu tipis atau kelewat tebal dari bagian lainnya, kecuali pada wilayah-wilayah sentuhan yang menghendaki demikian.
5. Irsal (lancar),yaitu menggoreskan kalam secara cepat dan tepat, tidak tersandung atau tertahan sehingga menyusahkan, atau mogok di pertengahan goresan sehingga menimbulkan getaran tangan yang pada akhirnya merusak tulisan yang sedang digoreskan.
Lebih lanjut, Ibnu Muqlah merumuskan semua potongan huruf dalam
standar huruf alif yang digoreskan dalam bentuk vertikal, dengan ukuran
sejumlah khusus titik belah ketupat yang ditemuka mulai dari atas hingga
kebawah (‘amadiyyan, vertex to vertex), dan jumlah titik tersebut
pusparagam sesuai dengan bentuknya, dari lima sampai tujuh titik. Standar
lingkaran memiliki radius atau jarak yang sama dengan alif. Kedua standar alif
dan lingkaran terebut digunakan juga sebagai dasar bentuk pengukuran atau
geometri. Inilah yang disebut dengan rumusan atau kaligrafi berstandar (al-khat
al-mansub) sesuai dengan kaidah yang baku dan menjadi standarisasi pedoman
penulisan kaligrafi murni.
Penguasaan
atas rumusan ini butuh waktu adaptasi yang cukup lama. Oleh karenanya,
ketekunan untuk selalu coba dan mencoba walau kesalahan kerap kali ditemukan
merupakan dinamika penguasaan khat. Usaha ini harus terus dilakukan sehingga
bisa teradaptasi langsung, baik bayangan bentuk rumus, bentuk huruf, titik,
skala garis, dan sebagainya.